Showing posts with label Tasawuf. Show all posts
Showing posts with label Tasawuf. Show all posts

25 April 2013

Ilmu Hikmah Tingkat Tinggi

| More


Di beberapa perguruan bela diri pencak silat ilmu hikmah merupakan bagian dari salah satu keilmuan yang diajarkan dan dipelajari. Tetapi ada juga perguruan ilmu hikmah yang berdiri sendiri tidak menyertakan pencak silat di dalamnya. Di perguruan ilmu hikmah para siswa akan belajar ilmu hikmah tingkat tinggi dengan berbagai macam nama dan kegunaan keilmuan.

Dalam belajar ilmu hikmah tingkat tinggi tersebut masing-masing siswa mempunyai alasan dan tujuan. Ada yang coba-coba sekedar ingin tahu, ada yang ingin bisa sakti mandraguna dan ada juga diniatkan kelak dijadikan sebagai mata pencaharian dengan membuka praktek sebagai paranormal, guru spiritual, penasehat spiritual, ahli pengobatan ilmu hikmah dan profesi lainnya yang berkenaan dengan ilmu hikmah. Di mana di dalam belajar ilmu hikmah tersebut siswa tidak lepas dari adab dan tata cara yang meliputi pengijazahan dengan adanya mahar.

Pengertian pengijazahan disini adalah turunnya ilmu dari seorang guru ke siswa-murid. Sedangkan pengertian mahar dalam ijazah ilmu hikmah adalah biaya dari pengijazahan tersebut. Dan mahar ini merupakan adab dan ketentuan umum di dalam pengijazahan suatu keilmuan.

Belajar ilmu hikmah tingkat tinggi yang dimaksudkan disini adalah siswa diajarkan berbagai keilmuan yang ada di dalam domain ilmu hikmah. Dari ilmu supranatural, ilmu parapsikologi, ilmu terawangan, ilmu kesaktian, ilmu pernafasan, ilmu pengasihan, ilmu mahabbah, ilmu kebal, ilmu mata batin, ilmu pengobatan, ilmu laduni, ilmu kasyaf, ilmu makrifat-ma’rifatullah,  ilmu gaib-ghaib dan ilmu-ilmu lainnya.

Memang ada deviasi atau bias dari arti dan pengertian ilmu hikmah itu sendiri dalam beberapa dekade atau kurun waktu belakangan ini. Dimana ilmu hikmah dipahami sebagai ilmu kesaktian, ilmu tenaga dalam, ilmu pengasihan, ilmu pengobatan, ilmu terawangan, ilmu kebal pukul, ilmu kebal senjata, ilmu gaib dan ilmu-ilmu lainnya dari hasil wirid dengan bacaan dan jumlah tertentu.

Ilmu hikmah sebenarnya bagian dari thoriqoh. Untuk bisa menjadi murid atau santri dari suatu thoriqoh harus melalui proses bai’at dari seorang mursyid. Di dalam setiap aliran thoriqoh selalu ada mursyid yang akan membimbing lahir dan batin kepada para murid atau santri. Pembelajaran di thoriqoh pun melalui metode riyadhoh dengan memberikan jumlah bacaan wirid secara bertahap.  Dan terus meningkat baik jumlah bacaannya maupun macam wiridnya. Ada empat maqom atau tingkatan di dalam thoriqoh yaitu syariat, hakikat, thoriqot dan makrifat. Meskipun bagian dari thoriqoh tetapi ilmu hikmah tidak pernah diajarkan secara khusus. Karena memang bukan itu tujuan utama dari thoriqoh.

03 April 2013

Ihya Ulumuddin Karangan Imam Ghozali (Free Download)

| More

Kitab Ihya Ulumuddin yang bisa didownload dalam bentuk PDF, JAR atau JAVA (format HP) ini adalah karya seorang ulama besar, Hujjatul Islam, Al Imam Abu Hamid Ghozali atau Imam Ghozali adalah kitab besar yang sangat berpengaruh di kalangan umat Islam. Walaupun umur kitab ini sudah ratusan tahun, namun hingga kini, kitab ini tetap menjadi rujukan utama bagi para penempuh jalan sufi.

Kitab ini berisi ajaran tentang Adab, ibadah, tauhid, akidah dan tasawuf yang sangat mendalam. Kitab ini merupakan hasil perenungan yang mendalam dari Imam Ghozali tentang berbagai hal, khususnya tentang pensucian hati. Seorang ulama besar lainnya al-Imam an-Nawawi pernah berkata: “Jika semua kitab Islam hilang, naudzubillah, dan yang tersisa hanya kitab Ihya’ maka ia mencukupi semua kitab yang hilang itu.”


Silahkan download kitabnya atau terjemahnya secara GRATIS alias Cuma-Cuma dengan klik gambar berikut:


17 March 2012

TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSABANDIYAH DI BANTEN ABAD 19

| More

Perwujudan Islam, meskipun berangkat dari sistem nilai yang berasal dari wahyu, menampakkan variasi dan keberagaman. Hal itu muncul sebagai bagian langsung dari interaksi Islam dengan struktur dan pola kultur masyarakat. Pada satu sisi, Islam sebagai doktrin dan pedoman harus memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan yang timbul, sehingga masyarakat menemukan Islam sebagai pedoman yang ideal dan terbaik. Namun demikian, pada sisi lain, Islam harus menerima masukan dan pengaruh-pengaruh tertentu yang diakibatkan oleh pola pandangan dan penafsiran yang ada pada pemeluk Islam. Interaksi Islam dan pola kultur masyarakat yang demikian menghasilkan sebuah ketegangan yang pada gilirannya mempengaruhi corak perwujudan Islam itu sendiri.[1]
            Karena struktur dan pola kultur masyarakat beragam, maka interaksi Islam menghasilkan variasi tampilan Islam, keberagaman perwujudan Islam telah menghasilkan fitnah di kalangan umat Islam baik dalam bentuk konflik maupun pertempuran sesama umat Islam. Mengenai pembentukan faksi-faksi dalam Islam mendapatkan momentumnya ketika masing-masing membuat dan menawarkan konsep pemahaman dan penafsiran serta merumuskan karakteristik gerakannya.
            Dalam prakteknya masing-masing faksi atau mazhab, di samping mempunyai konsep dasar, ideologi dan karakteristik gerakannya. Sebagai bagian dari bentangan altar pembentukan dan perkembangan faksi-faksi dalam Islam, tasawuf mewakili sebuah kecenderungan sebagian umat Islam untuk menjalani dan memiliki kualitas keberagaman yang menekankan komunikasi langsung dengan Allah. Ia meliputi sebuah pengalaman spiritual yang memperioritaskan esensi keberagaman yang berpandu pada ranah emosi dan instuisi. Kehadiran tasawuf sebagai mazhab merupakan reaksi terhadap kuatnya tendensi rasionalisasi dalam Islam, utamanya dalam wilayah hukum dan teologi dengan menawarkan tendensi baru pada kebebasan dan peningkatan kualitas spiritual.
            Perkembangan awal tasawuf dilandasi dengan ekspresi natural dari respon individual muslim terhadap agamanya yang terkait dalam konfigurasi kolektif. Proses natural tersebut tercermin dari kebebasan seseorang untuk menggeluti agamanya dengan mengutamakan pemahaman kontempalatif, kontak dengan Tuhan dan ciptaan-ciptaan-Nya, keteraturan pelaksanaan ibadah dan akhlak mulia dan penguatan moralitas masyarakat. Pesan-pesan dasar al-Qur’an tentang kesalehan diwujudkan dalam bentuk dzikir, zuhud dan kecintaan total kepada Allah[2]. Tasawuf, dengan demikian, menawarkan model baru yang menekankan aspek batin dari ajaran Islam yang diwujudkan dalam pola-pola keterikatan batin dengan Tuhan dan perwujudan moralitas perilaku yang muncul dari padanya. Hal yang demikian, berbeda dengan model yang sudah ada yang menekankan aspek lahir dalam struktur hukum (fiqh).
            Proses pendalaman dasar-dasar substantif ajaran Islam sebagai tersebut dengan dipercaya sebagai masukan dari variasi budaya yang ada di wilayah teritori Islam membentuk sistem tasawuf. Sistem tasawuf pada awalnya tidak menekankan pada “philosophical system”, melainkan “the way of purification” (jalan penyucian diri). Ajaran dan praktek kesufian dengan sistem tertentu pada kenyataannya berkembang ke pelosok dunia Islam. Pada tahap inilah pola hubungan jalan penyucian mengeras dalam bentuk relasi guru murid. pertama menjadi sumber reformasi baik pandangan maupun praktek, sedangkan pihak kedua menjadi pengikat.[3] Jaringan mursyid-murid pada gilirannya membentuk konsentrasi di tempat-tempat dan cara-cara tertentu pula. Di sinilah fondasi dasar pembentukan tarekat.[4] Khanaqah dan Ribath[5] berkembang di mana-mana. Setiap tokoh memiliki khanaqah masing-masing.

20 January 2012

Tarekat Naqsyabandiyah: Sejarah dan Ajarannya

| More
Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (“Pembaru Milenium kedua”, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).

Sejarah
Kebanyakan orang Naqsyabandiyah Mujaddidiyah dalam dua abad ini menelusuri keturunan awal mereka melalui Ghulam Ali (Syekh Abdullah Dihlavi [m. 1824]), karena pada awal abad ke-19 India adalah pusat organisasi dan intelektual utama dari tarekat ini. Khanaqah (pondok) milik Ghulam Ali di Delhi menarik pengikut tidak hanya dari seluruh India, tetapi juga dari Timur Tengah dan Asia Tengah. Hingga kini Khanaqah masih tetap (pernah mengalami masa tidak aktif akibat perampasan Delhi oleh orang Inggris pada tahun 1857). Namun fungsi Pan-Islami-nya sebagian besar diwarisi oleh para wakil dan pengganti Ghulam Ali yang menetap di tempat-tempat lain di Dunia Muslim. Yang terpenting adalah para syekh yang tinggal di Makkah dan Madinah: kedua kota suci ini menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah di banyak tanah Muslim sampai terjadinya penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah pada 1925, yang mengakibatkan dilarangnya seluruh aktivitas sufi. Demikianlah, Muhammad Jan Al-Makki (w. 1852), wakil Ghulam Ali di Makkah, menerima banyak peziarah Turki dan Basykir, yang kemudian mendirikan cabang-cabang baru Naqsyabandiyah di kampung halamannya. Pengganti Ghulam Ali yang pertama di Khanaqah Delhi, Abi Sa’id, melewatkan beberapa waktu di Hijaz untuk menerima pengikut baru. Anak dan pengganti Abu Sa’id, Syekh Ahmad Sa’id, memilih tinggal di Madinah setelah suatu peristiwa besar pada tahun 1857, memindahkan arah

Naqsyahbandiyah India ke Hijaz untuk sementara. Ketiga putra Ahmad Sa’id sama-sama memperoleh warisannya: dua orang pergi ke Mekkah dan menarik pengikut dari India serta Turki di sana. Sementara yang ketiga, Muhammad Mazhhar, tetap di Madinah dan mengelola pengikut yang terdiri dari ulama dan pengikut dari India, Turki Daghestan, Kazan, dan Asia Tengah. Namun, yang paling penting dari pengikut Muhammad Mazhhar adalah seorang Arab, Muhammad Salih al-Zawawi dan murid-muridnya yang tidak merasakan kebencian, yang umumnya ditujukan kepada Ulama Pribumi terhadap orang-orang non Arab dalam masyarakat mereka.

Sebagai guru fiqih Syafi’i, dia memiliki akses khusus terhadap orang-orang Indonesia dan orang-orang Melayu yang berkumpul di Hijaz, serta berkat al-Zawawi dan murid-muridnyalah Naqsyabandiyah dikenal secara serius di Asia Tenggara. Di Pontianak di pantai barat Kalimantan, masih terdapat berbagai jejak garis Naqsyabandiyah yang terpancar dari Hijaz ini.

09 May 2011

Beberapa Pernyataan Tentang Sholat

| More

12 April 2011

SAINTS AND SHEIKH IN MODERN EGYPT

| More
Valerie J. Hoffman

Belief in the existence and powers of ‘saints’ or ‘friend of God’ (wali, pl. awliya) is pervasive throughout the Muslim world. Such individuals are often associated with Sufism, or Islamic mysticism, though the notion of human perfection probably developed first among Shi’a.
According to some branches of the Shi’a, the imams inherited from the Prophet a spark of divine light granting them a perfection and sinlessness denied to ordinary human beings. The perfection of the saints in Sunni Islam is also a divine grace, and is often also associated with putative inheritance from the Prophet, thought it usually also derives from the arduous disciplines of self-denial and devotion that are peculiar to the Sufi way. A true Sufi sheikh, or spiritual master, should be a friend of God, one who by virtue of his closeness to God may see by the light of God what no ordinary person can see, and who is therefore qualified to give each disciple the discipline and instruction that befits him or her. Nonetheless, not all those who are recognized as saints are followers of the Sufi path, and not all those who function as sheikhs are commonly recognized as saints.
Since there is no body in Islam authorized to canonize saints, as there is in Catholicism, the process by which sainthood is recognized is entirely informal and necessarily a matter of contention. Typically, disciples regard their masters not only as saints, but usually as the greatest of all saints, the qutb (axis) or ghawth (help). Nonetheless, the problem of unqualified individuals being granted a certificate to function as Sufi sheikhs has been broadly recognized by Sufis themselves. So who is a saint, and how is he or she recognized?
The qualities typically deemed mandatory for saints include piety, observance of the Shari’a, knowledge of God, and the performance of miracles – typically miracles of knowledge, such as the ability to ‘read hearts’ and to communicate mind-to-mind with other saints or one’s own disciples, breaking through barriers of time and space, and providing spectacular assistance to those in need. Yet this inventory of attributes is deceiving, for the experts on Muslim sainthood also tell us that sainthood (wilaya) is by definition hidden among God’s creatures, especially the saints of the highest rank. So the person who is serving the tea to the guests may in fact be of a higher spiritual rank than the sheikh who is revered by his disciples. There is hierarchy among saints, with a diversity of spiritual types, habits and functions. The qutb, or axis, is said to be hidden and largely unrecognized. Even a child might be a saint. In Cairo there is a tomb for a boy who, after his death, identified himself as a saint by means of a dream given to a person who had never known him. Nonetheless, the man built a shrine over the place where the dead boy was buried, and his tomb is visited by people seeking his baraka.

12 March 2011

NUR MUHAMMAD DAN MUHAMMAD SAW

| More
Allah adalah cahaya langit dan bumi (QS. 24:35)

Wahai Jabir, sesungguhnya Allah Swt. sebelum menciptakan segala sesuatu, terlebih dahulu menciptakan cahaya nabimu dari Nur Allah (Hadis)

Jika bukan karena engkau, jika bukan karena engkau, wahai Muhammad, Aku tak akan pernah menciptakan langit yang tinggi dan mengejawantahkan Kedaulatan-Ku (Hadis).

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda, Ana min nurullaahi, wa khalaq kuluhum min nuuri—”Aku berasal dari cahaya Allah, dan seluruh dunia berasal dari cahayaku.” Dalam hadis lain dari Ibnu Abbas disebutkan, “Sesungguhnya ada seorang Quraisy, yang ketika itu masih berwujud nur (cahaya), di hadapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Mahaagung, dua ribu tahun sebelum penciptaan Nabi Adam as. Nur itu selalu bertasbih kepada Allah…”
Allah menciptakan Nur Muhammad, atau al-haqiqat Al-Muhammadiyya (Hakikat Muhammad) sebelum menciptakan segala sesuatu. Nur Muhammad disebut sebagai pangkal atau asas dari ciptaan. Ini adalah misteri dari hadis qudsi yang berbunyi lawlaka, lawlaka, maa khalaqtu al-aflaka—”Jika bukan karena engkau, jika bukan karena engkau (wahai Muhammad), Aku tidak akan menciptakan ufuk (alam) ini.” Allah ingin dikenal, tetapi pengenalan Diri-Nya pada Diri-Nya sendiri menimbulkan pembatasan pertama (ta’ayyun awal). Ketika Dia mengenal Diri-Nya sebagai Sang Pencipta, maka Dia “membutuhkan” ciptaan agar Nama Al-Khaliq dapat direalisasikan. Tanpa ciptaan, Dia tak bisa disebut sebagai Al-Khaliq. Tanpa objek sebagai lokus limpahan kasih sayang-Nya, dia tak bisa disebut Ar-Rahman. Maka, perbendaharaan tersembunyi dalam Diri-Nya itu rindu untuk dikenal, sehingga Dia menciptakan Dunia—seperti dikatakan dalam hadis qudsi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal, maka kuciptakan Dunia.” 

TENTANG WALI ALLAH

| More
Sesungguhnya, wali-wali Allah itu tak ada ketakutan bagi mereka, dan tidak pula bersedih hati. Mereka adalah orang-orang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia juga akhirat (QS. 10: 63).


Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka ia berarti menyatakan perang terhadap-Ku (Hadis Qudsi).

Kewalian adalah prinsip dasar dari jalan Tasawuf. Seperti dikatakan oleh Al-Hujwiri, “Ketahuilah prinsip dan landasan Tasawuf serta makrifat adalah bertumpu pada kewalian.” Wali-wali Allah (awliya) adalah orang-orang suci yang telah diberkati oleh Allah dan diangkat menjadi “sahabat-Nya”. Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai penglihatan batin (mukasyafah) yang benar. 

Sesungguhnya, Setiap mukmin yang takwa adalah Wali Allah (kullu mu’minin taqiyyin fahuwa waliyullah). Maka, syarat menjadi Wali Allah adalah mukmin yang takwa. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa, pertama, mukmin di sini adalah dalam pengertian yang “sempurna”. Kata wali dalam konteks ini adalah mengandung makna mubalaghah (sangat menekankan), yakni mukmin yang betul-betul taat. Mukmin yang sesungguhnya selalu mendasarkan perilakunya pada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Karenanya, seperti dinyatakan oleh Dzun Nun Al-Mishri, “Al-Quran sudah bercampur dengan darah dan daging mereka,” yang mengingatkan kita pada perkataan Aisyah, istri Nabi, bahwa “Akhlak Nabi adalah Al-Quran.” Dalam istilah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “Kewalian adalah bayangan dari fungsi kenabian (zill al-nubuwwa), sebagaimana kenabian adalah bayangan dari fungsi ketuhanan.” Mukmin sejati akan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya (hakikatnya) bukan sebagaimana yang dipikirkan, sebab mereka itu melihat dengan Nur Allah (al-mu’minu yandzuru bi nurillahi ta’ala).

Kedua, syarat takwa di sini juga dalam pengertian yang hakiki (haqqa tuqatihi) yakni sebenar-benar takwa seperti diperintahkan dalam Al-Quran Surah Ali Imran ayat 102. Takwa di sini mengandung dua aspek, lahir dan batin. Aspek lahirnya adalah pelaksanaan syariat, sedangkan aspek batinnya adalah niat yang suci (lillahi ta’ala) dan mujahadah. Jika seseorang sudah mencapai takwa yang hakiki ini barulah dia bisa disebut mukmin yang sejati, dan mukmin yang sejati adalah Wali Allah. Dan orang yang mukmin yang paling bertakwa bisa dipastikan paling mulia kedudukannya, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat 13—inna akramakum ‘inda Allahi atqakum—”Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Dalam analisis terakhir, Wali Allah adalah orang yang tinggi kedudukannya di sisi Allah. Mereka adalah para “pejabat istana Tuhan”. Pada tingkat inilah mereka akan dilindungi oleh Allah, yang merupakan makna kedua dari kata “wali,” yakni “yang dilindungi atau dijaga”. Dalam Al-Quran, Surah Al-A’raf: 196, disebutkan, “Dan Dia melindungi (yatawalla) orang-orang yang shalih.”

18 February 2011

Pendekatan Studi Islam Melalui Tasawuf

| More
TASAWUF, menurut etimologi, AHLU SUFFAH = kelompok orang pada zaman rasulullah hidupnya banyak di serambi serambi mesjidm mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Alah. Ada lagi mengatakan Tasawuf berasal dari kata SHAFA, orang yang bersih dan suci, orang yang menyucikan dirinya Di hadapan Allah. Ada yang mengartikan berasal dari bahasa Yunani SAUFI yang berarti kebijaksanaan. SHUF yang berarti bulu domba (wol).
Tasawuf  berdasarkan istilah,  (1)  Menurut  Al-Jurairi,  Memasuki  segala  budi (Akhlak) yang bersifat suni dan keluar dari budi pekerti yang rendah. (2) Menurut Al- Junaidi,  ia  memberikan rumus bahwa tasawuf adalah bahwa  yanhak adalayang mematikanmu dan Hak-lah yang menghidupkanmu. Adalh beserta Allah tanpa adanya penghubung.
Dari Al-Junaid dapat disimpulkan tasawuf adalah memberikan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan mahluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (isntink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia. Menjauhkan segala seruahan dari hawa nafsu.mendekatkan sifat suci kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memaki barang-barang yang penting dan terlebih kekal. Menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat.
Dari Al-Junaid dapat disimpulkan tasawuf adalah memberikan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan mahluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (isntink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia. Menjauhkan segala seruahan dari hawa nafsu. Mendekatkan sifat suci kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memaki barang-barang yang penting dan terlebih kekal. Menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat.

02 February 2011

Mengenal Beberapa Tokoh Sufi (3)

| More
1.      Al-Ghazali
a.      Riwayat Hidup
Imam al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H bersamaan dengan tahun 1058 M di Thus, Khurasan (Iran). Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli fikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. al-Ghazali meninggal dunia pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 H bersamaan dengan tahun 1111 M di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.

Hujjatul Islam ; Sang Pembela Islam

Pada tahun 1091, beliau pernah menjadi Guru Besar Hukum kepada Nizam Al-Mulk (1018-1092), kemudian Perdana Menteri Sultan Maliksyah, dan kerajaan Saljuk di Madrasah Nizamiyah, Baghdad. Beliau mengajar di sana selama 4 tahun. Dalam waktu tersebut, beliau telah berjaya menghasilkan 2 karya yang amat berharga yaitu Maqasid Al-Falasifah (Maksud Ahli Falsafah) dan Tahafut Al Falasifah (Kekeliruan Ahli Falsafah).
Dua karyanya itu telah membawa satu gelombang besar dalam dunia aliran falsafah dan ilmu kalam. Al-Ghazali telah memberi tamparan yang hebat kepada ilmu logika yang mencoba mengalahkan Kalam Allah.
Di dalam tasawufnya, al-Ghazali lebih memilih tasawuf sunni berdasarkan al-Quran dan Hadis ditambah dengan doktrin Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. Perjalanan intelektual dan spiritual dalam menemukan kedamaian batin dan mengikut jalan sufi dicurahkan dalam autobiografinya yang berjudul al-Munqiz min al-Dhalal (pembebas daripada kesesatan).
Al-Ghazali telah mengkritik ahli falsafah dan akhirnya beliau memilih jalan tasawuf sebagai jalan menuju Allah. Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah beliau sendiri telah menyanggah pandangan ahli falsafah yang membawa kepada kekufuran yakni hujah alam ini qadim, tuhan tidak mengetahui bagian kecil alam ini, dan ketiadaan kebangkitan jasmani pada hari Qiamat. Al-Ghazali merobek seluruh pemahaman yang keliru itu.
Al-Ghazali berkata, “Pada akhirnya saya sampai kepada kebenaran, bukan menerusi jalan akal budi serta pengumpulan bukti, melainkan menerusi cahaya yang dipancarkan oleh Allah ke dalam jiwaku.” [1]
Berbahagialah al-Ghazali karena telah mendamaikan antara syariat dan tasawuf dengan menzahirkan ilmu tasawuf pada jiwa umat Islam.
b.      Pokok Pemikiran Tasawuf al-Ghazali
Tasawuf Al-Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori-teori tasawufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesinambungan, sehingga dapat dikatakan bahwa seumur hidupnya ia bertasawuf.

01 December 2010

Mengenal Beberapa Tokoh Sufi (2)

| More
 Abu Mansur al-Hallaj

a.      Riwayat Hidup al-Hallaj
Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Sari as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.
Di tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj. Sosok yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam, sekaligus menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866 M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.

29 October 2010

Transformasi, Ra’il, dan Cinta

| More
Namanya Ra’il binti Ra’ayil atau Ra’el binti Ra’ael. Nama ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thabari dan Ibnu Abi Hatim dari Muhammad bin Ishaq. Sementara namanya yang lain bersumber dari riwayat Abu Asy Syaikh dari Syu’aib Al Juba’i. Sedangkan kebanyakan ulama’ yang berhati-hati lebih suka menyebutnya seperti yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an: Imra’atul Aziz. Maka, izinkan saya kali ini menggunakan nama menurut versi Yahudi itu, Ra’il binti Ra’ayil.
Adalah sudah mafhum di dalam lintasan sejarah yang kita pelajari: kisah Yusuf dan Ra’il. Seorang perempuan yang sangat cantik dan merupakan ibu angkat dari Yusuf muda. Ia adalah seorang istri Menteri Keuangan di negara Mesir kala itu. Seorang istri yang kesepian karena bersuamikan seorang lelaki yang mandul yang tidak pernah menggaulinya. Tidak pernah memberikan haknya sebagai seorang istri berupa kebutuhan biologis. Kebutuhan rohani untuk meredam gejolak syahwatnya.
Maka, mendapati seorang pemuda berwajah tampan yang ketampanannya merupakan ketampanan setengah lelaki di bumi, Ra’il pun tergetar hatinya. Interaksi yang intens di dalam rumah dengan lawan jenis mau tidak mau memunculkan syaitan di dalam dirinya. Mulailah timbul benih ketertarikan di dalam diri Ra’il terhadap Yusuf yang tampan. Padahal suaminya telah berpesan agar ia menjaganya sebagai seorang putra.
Ra’il yang dibakar nafsu menyusun rencana keji kepada Yusuf muda. Ia pun menutup pintu-pintu di dalam rumahnya hingga hanya menyisakan dirinya dan Yusuf berdua. Tidak ada yang melihat mereka kecuali Allah. Seorang perempuan cantik dan lelaki tampan di dalam sebuah ruang tertutup. Syaitan semakin membakar birahi Ra’il.
“Marilah ke sini!” ajak Ra’il kepada Yusuf (Yusuf: 23)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...